Seorang laki – laki tampak bersandar pada
sebuah pohon , pikirannya menerawang jauh ke atas disertai pandangan yang
mengadah melihat awan yang bergerak beriringan dengan hembusan angin semilir
yang nampak serasi. Tak terasa air matanya menetes membasahi pipinya. Hingga
terlalu sedih hatinya sampai tak menyadari bahwa ada seorang yang cantik jelita
berdiri mematung dibelakangnya.
Kembali
ke seminggu yang lalu ketika seorang lelaki bernama Fian sedang termangu – mangu
memandang sebuah foto wanita sambil bergumam “Ooh, Nadia andaikan kau jadi
kekasihku, betapa gembiranya hati ini. Parasmu yang cantik, membuatku terpana
ketika pertama melihatmu, tetapi hatimu sudah ada yang memiliki.” saking
lamanya bergumam, Fian tak sadar hingga terdengar teriakan kera,
“Fiiiaan!! Bantu ibu nak !.” Tanpa menunggu lama, Fian yang sejatinya lagi
bimbang segera melangkah menembus pintu belakang rumahnya . Keesokan harinya
Fian masuk sekolah, disana ia curhat kepada sahabatnya Adhiem bahwa sebenarnya
ia mencintai Nadia namun tak berani mengungkapkannya. Adhiem yang sejatinya sangat loyal kepada semua
temannya kemudian berkata dengan suara sedikit pongah namun tegas “Jika kamu
sungguh mencintai Nadia, buktikanlah, temui dia lalu nyatakan perasaanmu dan
jangan buatlah dia senyaman mungkin bersamamu.
” Fian tersenyum, tetapi berselang berubah
menjadi sedikit tegang
“Aku tak berani , Dhiem ”. Adhiem pun mengernyitkan alisnya, kemudian
sambil berpaling dia berkata “Cobalah saja dulu, setelah berhasil kamu pasti
akan bahagia.”,
“Tapi kalau gagal ?” sahut Fian sembari
menyobek secarik kertas, sedangkan Adhiem hanya diam membisu.
Seharian
Fian merenungi perkataan Adhiem tadi, antara menuruti perkataannya atau tidak.
Sebenarnya pikiran Fian selalu condong melakukan apa yang dikatakan Adhiem,
tetapi setiap kali itu juga muncul ingatan untuk tidak menuruti perkataan Fian.
Akhirnya setelah berfikir keras. Fian memilih untuk menuruti perkataan Adhiem
mengingat ia sangat mencintai Nadia, keesokan harinya dengan semangat,Fian
berjalan tegtap menyusuri lorong sekolah, sampai akhirnya ia berada di depan
kelas Nadia. Namuun apa yang terjadi ? Fian tak acuh dengan kelas Nadia dan
berjalan lurus meninggalkan kelas tersebut. Ooo.. ternyata tempat yang dituju
Fian adalah perpustakaan, disana ia mencari buku. Buku Puisi Pilihan judulnya,
Fian berasumsi bahwa dengan seonggok puisi ia bisa menaklukkan hati wanita
pujaannya.
Embun
menyejukkan hati, semerbak wangi bunga menyambut Fian pada Sabtu pagi itu.
Berbekal sepucuk bunga dan sebuah puisi, Fian bertekad menemui Nadia di koridor
sekolah. Semuanya telah direncanakan Fian masak – masak, mulai dari berbasa –
basi, penyerahan puisi kemudian pernyataan cinta. Namun Fian tak menyangka
kalau ada perubahan rencana mendadak, di dekat taman sekolah Nadia terlihat
berdiri kemudian menegurnya,” Kamu Fian kan ??, salam kenal dong” kata Nadia sambil mengulurkan tangan
mengajak bersalaman. Seketika itu juga Fian terpaku, dipikirannya hanya ada
kejadian ini berkah atau insiden?, Tak sengaja tangan Fian menyambut datangnya
uluran tangan dari Nadia.
“I..iya aku Fian” Darah Fian mengalir kencang, jantungnya berdegup
keras, pikiran Fian kacau saat memegang tangan Nadia. Tak lama Nadia pun
berpaling meninggalkan Fian, pikiran Fian yang sedang kacau merespon agar
memanggil Nadia dan mengungkapkan tujuan Fian sekarang juga, tetapi pikiran
tersebut tertahan di pangkal lidah sampai akhirnya Fian memberanikan diri
berucap “E..eeh tunggu”.
“Apa?”
terdengar suara yang renyah dari mulut Nadia,
“E..emm..emm” kata Fian dengan bimbang.
“Emm apa?” sahut Nadia dengan nada melembut
setelah melihat muka Fian yang tegang.
“Ada sesuatu niih untuk kamu” ujar Fian
dengan mengulurkan seikat bunga,
“Bunga?? Apa maksudnya ini..?” Belum sempat
Nada melanjutkan pertanyaannya, Fian menyahut
“Aku sudah lama naksir kamu, kini aku
nyatakan bahwa hatiku siap menampung kamu”. Nadia hanya terbengong mendengar
perkataan Fian, kemudian berucap,
“Kamu sekarang sepertinya belum pas deh
jadi pendampingku”. Setelah berucap seperti itu lantas Nadia berlalu
meninggalkan Fian yang menunduk termangu – mangu.
Sambil
berjalan Fian meratapi kejadian tadi, hatinya remuk redam seperti dihantam
godam, pikirannya menggalau, pandangan matanya yang semula mensiratkan kesemangatan
kini terlihat kosong, dalam hatinya Fian berkata “ Tahukah kamu Nadia?
Sejujurnya hatiku terasa sesak, penuh rasa yang tak bisa kuungkapkan ini. Aku
tak tahan lagi memendam semua perasaan ini. Aku selalu gelisah, tak enak makan
tak enak tidur. Semua ini seakan – akan merobek
- robek dadaku. Hidupku sekarang ini terasa penuh siksa dan derita .”
gerutu Fian dalam hati. Antara rasa bersalah, menyesal, marah, kecewa semuanya
berpadu menjadi satu menjadikan terciptanya sebuah perasaan yang aneh, perasaan
yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan kata – kata, perasaan setelah ditolak
cintanya. Pupus sudah harapan Fian memiliki hati Nadia, yang terjadi malah hati
Fian sendiri yang terkena imbasnya, imbas ditolak cinta.
Jam
menunjuk angka 4 ketika Fian masih belum bisa move on dari kemelut yang menghinggapi hatinya. Udara di kamar itu
terasa panas, padahal hujan telah mengguyur kampung Fian sejak 3 jam yang lalu.
Dalam kegusarannya, Fian berjalan keluar rumah, berteduh dari gerimis kecil di
dekat pohon jambu air yang menjadi tempat masa kanak - kanaknya bermain. Terasa
semilir sejuk angin menerpa tubuh Fian, kemudian seirama dengan rintik hujan,
Fian meneteskan air mata. Sementara itu arah jam 6 Fian terlihatlah Nadia,
mukanya mensiratkan sedikit rasa bersalah, lalu berkata
“Fian ini aku Nadia.” Saat itu juga Fian
berusaha menghentikan tangisnya, sambil berkata dengan suara parau “Ada apa?.”
Nadia menjawab “Ternyata aku salah
menilaimu, puisi yang kamu tinggalkan di taman tadi begitu menyentuh hatiku,
kini kamu bisa…….. memiliki hatiku Fian .” Terasa seperti dunia berhenti
berputar, Fian tertegun mendengar kata – kata yang berasal dari mulut Nadia
tadi, seketika dia membalikkan tubuhnya dan ….
Bersambung
..
0 komentar:
Posting Komentar