Beri aku 10 pemuda, Akan kutraktir kalian semua!

Rabu, 20 Mei 2015


              Suara feedback nyaring kian terdengar, sementara itu ditengah panggung terdapat seseorang yang berdiri tegap, memakai kaos putih bergambar Che Guevara mulut orang tersebut tidak berhenti mengucapkan suara lantang, tak dihiraukannya suara hujan deras yang menimpa atap gedung serta bunyi para pelayan yang sibuk mencatat apa saja menu yang dipesan pelanggan. Bagaikan menyumpah serapahi setiap orang, orang itu berteriak keras dengan semangat membara, mata yang memandang tajam juga tangan yang yang sesekali diacungkan ke atas, dengan percaya diri dilakukan oleh orang tersebut.
               
              Sementara di depan orang tersebut, terdapat kursi sederhana dengan meja papan bundar dilapisi kain hitam. Memanjang hingga puluhan deret ke sudaut ruangan. Setiap meja terdapat minimal 3 orang yang mengelilinginya tetapi ada juga yang mencapai 7 orang, mereka sibuk berbicara dengan siapapun yang berada di kanan kirinya, sibuk dengan makanannya, sibuk dengan pikirannya masing masing. Hanya sedikit dari mereka yang peduli pada orang yang masih tetap berpidato lantang di depan panggung. Seakan tak merasa perlu menyimak kata – kata keras dari sang pembicara, mereka sepertinya tidak lagi peka terhadap suara keras melainkan lebih peka terhadap suara lembut. Yang mana suara keras membentak agar berbuat yang bermanfaat sedangkan suara lembut hanyalah bisikan kecil belaka, namun mematikan pada arah kelanjutannya.
               
              Kipas angin dimatikan, tapi lampu tetap dibiarkan menyala. Piring dan gelas diangkut ke rak pencucian. Orang – orang telah berlalu meninggalkan gedung dengan perut membuncit serta kolesterol yang bertambah pesat. Kecuali satu orang yang masih diam, ia yang sejak tadi terus berdiri sekarang berposisi duduk, tangannya mengepal sambil memegang kertas, pikirannya mengawang. Microfon yang berdiri di depannya dijadikan acuan, aspirasi terus dicoba disampaikan namun tak berbekas di telinga pendengarnya. Di tengah lamunannya ia tersadar sudah saatnya untuk pulang. Dicabutlah kabel yang menancap di microfon dan digulung dengan rapi pada kotak kayu mahoni warna jingga. Beberapa langkah sebelum meninggalkan panggung ada suara yang memanggil.

“Hei, kau mau pergi kemana? Aku terheran dengan aksimu di panggung tadi, sudikah engkau?”

Ia melirik kearah belakang, namun tidak sampai menengok ke belakang. Dalam lirikannya ia hanya dapat melihat sepatu dan rok wanita khas kerajaan Belanda masa lampau. Tak sampai hati ia ingin jawab pertanyaannya tadi, tetap berjalan meninggalkan panggung serta tak acuh pada wanita tadi, yang ia bahkan belum lihat parasnya …


Besambung

0 komentar: