Suara feedback nyaring kian terdengar,
sementara itu ditengah panggung terdapat seseorang yang berdiri tegap, memakai
kaos putih bergambar Che Guevara mulut
orang tersebut tidak berhenti mengucapkan suara lantang, tak dihiraukannya
suara hujan deras yang menimpa atap gedung serta bunyi para pelayan yang sibuk
mencatat apa saja menu yang dipesan pelanggan. Bagaikan menyumpah serapahi
setiap orang, orang itu berteriak keras dengan semangat membara, mata yang memandang
tajam juga tangan yang yang sesekali diacungkan ke atas, dengan percaya diri
dilakukan oleh orang tersebut.
Sementara
di depan orang tersebut, terdapat kursi sederhana dengan meja papan bundar
dilapisi kain hitam. Memanjang hingga puluhan deret ke sudaut ruangan. Setiap
meja terdapat minimal 3 orang yang mengelilinginya tetapi ada juga yang
mencapai 7 orang, mereka sibuk berbicara dengan siapapun yang berada di kanan
kirinya, sibuk dengan makanannya, sibuk dengan pikirannya masing masing. Hanya
sedikit dari mereka yang peduli pada orang yang masih tetap berpidato lantang
di depan panggung. Seakan tak merasa perlu menyimak kata – kata keras dari sang
pembicara, mereka sepertinya tidak lagi peka terhadap suara keras melainkan
lebih peka terhadap suara lembut. Yang mana suara keras membentak agar berbuat
yang bermanfaat sedangkan suara lembut hanyalah bisikan kecil belaka, namun
mematikan pada arah kelanjutannya.
Kipas
angin dimatikan, tapi lampu tetap dibiarkan menyala. Piring dan gelas diangkut
ke rak pencucian. Orang – orang telah berlalu meninggalkan gedung dengan perut
membuncit serta kolesterol yang bertambah pesat. Kecuali satu orang yang masih
diam, ia yang sejak tadi terus berdiri sekarang berposisi duduk, tangannya
mengepal sambil memegang kertas, pikirannya mengawang. Microfon yang berdiri di
depannya dijadikan acuan, aspirasi terus dicoba disampaikan namun tak berbekas
di telinga pendengarnya. Di tengah lamunannya ia tersadar sudah saatnya untuk
pulang. Dicabutlah kabel yang menancap di microfon dan digulung dengan rapi
pada kotak kayu mahoni warna jingga. Beberapa langkah sebelum meninggalkan
panggung ada suara yang memanggil.
“Hei, kau mau
pergi kemana? Aku terheran dengan aksimu di panggung tadi, sudikah engkau?”
Ia melirik kearah belakang, namun tidak
sampai menengok ke belakang. Dalam lirikannya ia hanya dapat melihat sepatu dan
rok wanita khas kerajaan Belanda masa lampau. Tak sampai hati ia ingin jawab
pertanyaannya tadi, tetap berjalan meninggalkan panggung serta tak acuh pada
wanita tadi, yang ia bahkan belum lihat parasnya …
Besambung
0 komentar:
Posting Komentar