AIRLANGGA

Minggu, 28 September 2014


Nama Airlangga berarti “air yang melompat”. Ia lahir tahun 990. Ayahnya bernama Udayana, raja kerajaan dari Wangsa Warmadewa. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri Wangsa Isyana dari kerajaan Medang.
            Airlangga menikah dengan putri pamannya yaitu Dharmawangsa Teguh di Watan, ibukota kerajaan Medang (sekitar Maospati, Magetan , Jawa Timur). Ketika pesta pernikahannya berlansung, kota Watan diserbu raja Wurarari yang berasal dari Lwaram (desa Ngloram, Cepu, Blora), yang merupakan sekutu dai kerajaan Sriwijaya. Dalam serangan itu, Dharmawangsa Teguh tewas, sedangkan Airlangga lolos ke hutan. Saat itu ia berusia 16 tahun, dan mulai menjalani hidup sebagai pertapa.
            Setelah tiga tahun, Airlangga didatangi utusan rakyat yang memintanya membangun kembali kerajaan Medang. Ketika Airlangga naik takhta tahun 1009 itu, wilayah kerajaannya hanya meliputi Pasuruan dan Sidoarjo saja. Pada tahun 1023, kerajaan Sriwijaya dikalahkan Rajendra Coladewa raja Colamandala dari India. Hal ini membuat Airlangga lebih leluasa mempersiapkan diri untuk menaklukkan pulau Jawa.
            Sejak tahun 1025, Airlangga memperluas kekuasannya dan pengaruhnya seiring dengan melemahnya Sriwijaya. Pada tahun 1030 Airlangga mengalahkan Wisnuprabhawa raja Wuratan, Wijayawarma raja Wengker, kemudian Panuda raja Lewa. Pada tahun 1032 raja wanita dari daerah Tulungagung berhasil mengalahkan Airlangga. Istana Watan Mas dihancurkan. Airlangga terpaksa melarikan diri ke desa Patakan ditemani Mapanji Tumanggala, dan membangun ibukota baru di Kahuripan. Raja wanita pada akhirnya dapat dikalahkan.
            Airlangga naik tahta dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Airlangga juga memperluas wilayah kerajaan hingga ke Jawa Tengah, bahkan pengaruh kekuasaannya diakui sampai ke Bali. Pada tahun 1042 Airlangga turun tahta menjadi pendeta, menurut prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.

0 komentar: